Jumat, 15 April 2011

TANAH MARJINAL


MENGAMATI TANAH DI LAPANGAN
Tanah merupakan suatu system yang sangat kompleks yang dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu fisik, kimiawi dan biologis. Tanah yang dengan istilah lain disebut pedosfera yang berada di atas permukaan bumi ini merupakan hasil perpaduan dari beberapa bagian penyusun kerak bumi, yaitu litosfera, biosfera, hidrosfera dan atmosfera. Apabila diperhatikan lebih seksama, tanah bukanlah terdiri dari benda padat yang pejal melainkan ternyata tersusun dari empat bagian penyusun tanah, yaitu bahan mineral (anorganik), bahan-bahan organik atau sisa tanaman dan hewan, air tanah dan udara tanah.
Keempat bagian penyusun tanah tersebut bergabung satu sama lain membentuk suatu system yang kompleks, yaitu tanah, yang merupakan media yang baik bagi perakaran tanaman, sebagai gudang unsur hara dan sanggup menyediakan air serta udara bagi keperluan tanaman. Jumlah dan macam bahan penyusun tanah tersebut dapat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain di permukaan bumi ini sehingga dapat dibedakan satu jenis tanah dengan jenis tanah lainnya. Hal inilah yang merupakan dasar dari klasifikasi tanah.
Membedakan sifat tanah yang berbeda-beda, misalnya ada yang berwarna merah, hitam, kelabu, ada yang bertekstur pasir, debu, liat dan sebagainya merupakan cara yang sangat sederhana untuk melakukan klasifikasi tanah. Dengan cara ini maka tanah-tanah dengan sifat yang sama dimasukkan ke dalam satu kelas yang sama. Pengklasifikasian tanah secara sederhana pun dapat dilakukan dengan memilah-milah tanah subur, dan tanah kurang subur (tanah marginal). Tanah yang subur, umumnya adalah tanah-tanah yang berasal dari gunung berapi atau bahan alluvial baru sedangkan tanah marginal adalah tanah-tanah yang kurang baik dan belum diusahakan.

TANAH MARJINAL
Di Indonesia lahan marginal dijumpai baik pada lahan basah maupun lahan kering. Lahan basah berupa lahan gambut, lahan sulfat masam dan rawa pasang surut seluas 24 juta ha, sementara lahan kering kering berupa tanah Ultisol 47,5 juta ha dan Oxisol 18 juta ha (Suprapto, 2003). Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 106.000 km dengan potensi luas lahan 1.060.000 ha, secara umum termasuk lahan marginal. Berjuta-juta hektar lahan marginal tersebut tersebar di beberapa pulau, prospeknya baik untuk pengembangan pertanian namun sekarang ini belum dikelola dengan baik. Lahan-lahan tersebut kondisi kesuburannya rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk memperbaiki produktivitasnya.
Tanah marginal atau “suboptimal” merupakan tanah yang potensial untuk pertanian, baik untuk tanaman pangan, tanaman perkebunan maupun tanaman hutan. Secara alami, kesuburan
tanah marginal tergolong rendah. Hal ini ditunjukkan oleh reaksi tanah yang masam, cadangan hara rendah, basa-basa dapat tukar dan kejenuhan basa rendah, sedangkan kejenuhan aluminium tinggi sampai sangat tinggi. Namun, Krantz (1958) mengemukakan bahwa penilaian produktivitas suatu lahan bukan hanya berdasarkan kesuburan alami (natural fertility), tetapi juga respons tanah dan tanaman terhadap aplikasi teknologi pengelolaan lahan yang diterapkan. Melalui perbaikan teknologi pengelolaanlahan, produktivitas suatu lahan dapat ditingkatkan secara signifikan dibandingkan dengan kondisi kesuburan tanahnya yang secara alami rendah. Namun, dalam beberapa decade terakhir, penilaian kesuburan tanah justru didasarkan pada kesuburan alami (natural fertility). Dalam kegiatan survei dan pemetaan tanah pada awal tahun 1960-an yang dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian Tanah, yang sekarang berubah nama menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), penilaian kelas kemampuan wilayah hanya didasarkan pada kualitas atau karakteristik tanah secara alami (virgin soil). Namun, sejak tahun 1970-an, penilaian kelas kesesuaian lahan dilakukan dari dua arah, yaitu berdasarkan kondisi teknologi yang diterapkan saat ini (actual suitability) dan kondisi teknologi dengan perbaikan disesuaikan dengan kualitas dan karakteristik lahannya (potential suitability).
Tanah marginal lahan kering di Kalimantan terbentuk dari batuan sedimen masam, yang dicirikan oleh cadangan hara yang tergolong sangat rendah. Batuan sedimen masam adalah batuan permukaan (eksogen) yang menempati volume 5% kerak bumi (daratan dan lautan). Batuan ini menjadi penting karena menutup hingga 75% permukaan bumi (Faucult dan Raqult 1984). Sifat batuan sedimen masam bervariasi karena pembentukannya bergantung pada sifat alami bahan pembentuknya, proses atau model pengendapan, dan kondisi lingkungan daerah pengendapan.
Berdasarkan Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, penyebaran tanah dari batuan sedimen masam di Indonesia mencapai 40,10% atau 75,48 juta ha (Puslittanak 2000). Di Kalimantan, diperkirakan penyebaran tanah ini mencapai luas 30,15 juta ha atau 57,22% dari luas pulau, dengan jenis tanah utama terdiri atas Ultisols, sedikit Inceptisols, dan Oxisols (Subagyo et al. 2000). Tanah ini sebagian besar digunakan untuk tanaman perkebunan, antara lain karet, kelapa sawit, lada, kopi, dan hutan tanaman industri. Berdasarkan data BPS (2004), luas lahan perkebunan di Kalimantan mencapai 4,83 juta ha, sehingga perluasan areal pertanian pada tanah ini masih mungkin dilakukan.Tulisan ini membahas tanah marginal lahan kering dari batuan sedimen masam di Kalimantan, yang meliputi penyebaran, karakteristik tanah, dan potensinya untuk pertanian. Wilayah Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia dan Brunei Darussalam, sebagian besar merupakan lahan marginal yang perlu segera dimanfaatkan dalam rangka pengembangan wilayah perbatasan.

PENYEBARAN TANAH MARGINAL DI KALIMANTAN
Secara fisiografis, tanah marginal dari batuan sedimen masam menyebar pada landform tektonik, yaitu suatu landform yang terbentuk sebagai akibat adanya proses-proses geomorfik dari dalam (endogen/hipogen) atau dari luar (eksogen/ epigen), antara lain berupa proses angkatan, lipatan, patahan, dan atau gabungannya (Marsoedi et al. 1997).Relief atau lereng yang terbentuk pada
landform ini sangat terkait dengan proses-proses geomorfik dan atau sifat litologinya (struktural). Gambar 1 memperlihatkan bentang alam lahan marginal di Provinsi Kalimantan Selatan. Landform dan relief yang terbentuk sebagai akibat deformasi kulit bumi oleh proses angkatan dan patahan dapat membentuk wilayah tinggi yang relative datar dengan areal cukup luas, yang disebut plateau, lebih kecil (mesa), atau sangat kecil (bute). Bahan yang terangkat umumnya berupa batu pasir, seperti yang dijumpai di Kalimantan Barat (Suharta dan Suratman 2004). Pengangkatan yang tidak terlalu tinggi umumnya membentuk teras angkatan dengan relief datar. Bentukan landform sebagai akibat proses angkatan, lipatan, dan patahan karena adanya pemiringan yang berlereng curam (> 35%) disebut hogback, sedangkan yang berlereng landai
 (< 35%) disebut cuesta. Kedua sublandform tersebut wilayahnya merupakan perbukitan atau pegunungan. Bentukan landform ini banyak dijumpai di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat (Suharta et al. 1998; Hikmatullah et al. 2000).
Patahan tunggal di wilayah perbukitan atau pegunungan akan membentuk blok memanjang terangkat yang disebut horst atau berupa pelembahan yaitu graben. Wilayah yang terbentuk karena proses pelipatan dari strata batuan membentuk punggung antiklin dengan relief
berbukit, dan depresi sinklin dengan relief datar, atau membentuk perbukitan paralel. Wilayah dengan relief datar hingga bergelombang yang terbentuk sebagai akibat proses pendataran atau
erosi yang kuat dan cukup lama, membentuk wilayah tua yang nyaris datar yang disebut peneplain.

CADANGAN HARA TANAH
Kesuburan tanah alami sangat bergantung pada komposisi mineral bahan induk tanah atau cadangan hara tanah. Semakin tinggi cadangan hara tanah, semakin tinggi pula tingkat kesuburan tanahnya. Cadangan hara di dalam tanah sangat bergantung pada komposisi, jumlah, dan jenis mineralnya. Tanah marginal dari batuan sedimen masam mempunyai cadangan mineral atau cadangan hara yang rendah.
 Berdasarkan derajat pelapukannya, jenis mineral di dalam tanah dapatdibedakan dalam dua grup utama, yaitu mineral resisten atau mineral yang tahan terhadap pelapukan dan mineral yang tergolong mudah lapuk. Mineral yang tahan terhadap pelapukan antara lainadalah kuarsa (SiO2), dan tergolong mineral miskin hara. Karena sifatnya yang sukar melapuk, kuarsa banyak dijumpai pada tanah yang telah mengalamipelapukan lanjut atau pada tanah yang terbentuk dari bahan induk yang mengandung kuarsa tinggi, seperti batu pasirkuarsa. Mineral mudah lapuk yang kaya unsur hara adalah muskovit, biotit, ilit, ortoklas, dan sanidin sebagai sumber K; anortit dan albit sebagai sumber Na dan K; amfibol, hiperstin, augit, dan olivine sebagai sumber Ca, Mg, dan Fe; serta apatit sebagai sumber P dan Ca (Mohr et al. 1972). Setiap batuan induk tanah mempunyai komposisi atau jenis mineraltertentu sehingga proses pelapukannya akan melepas unsur-unsur hara tersebutyang selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh tanah

SIFAT FISIK TANAH
Tanah marginal dicirikan oleh teksturtanah yang bervariasi dari pasir hingga liat. Hal  tersebut dikarenakan batuan sedimen masam di Kalimantan terbentuk dari dua macam bahan induk tanah, yaitu batu pasir yang bertekstur kasar dan batu liat atau batu lanau yang bertekstur halus. Hasil penelitian Suharta (2007) di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa fraksi
pasir, debu maupun liat sangat bervariasi, baik pada lapisan atas maupun lapisan. hal yang sama juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Prasetyo et al. (2001) di Kalimantan Timur dan
Yatno et al. (2000) di Kalimantan Selatan. Adanya keragaman tekstur tanah yang cukup besar pada tanah marginal dari batuan sedimen masam akan sangat memengaruhi sifat fisik, kimia, maupun sifat mineraloginya sehingga memerlukan kehati-hatian dalam pengelolaan tanahnya. Tanah bertekstur kasar dicirikan oleh kemampuan meretensi air dan hara yang rendah sehingga tanah rawan kekeringan pada musim kemarau dan pencucian hara atau basa-basa dapat tukar secara intensif pada musim hujan. Sebaliknya, tanah bertekstur halus umumnya dicirikan oleh permeabilitas tanah yang lambat.